Beranda | Artikel
HADITS-HADITS POKOK BAGIAN 3
Rabu, 26 November 2008

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama seluruhnya adalah nasihat.” Maka kami bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Yaitu untuk Allah, untuk Kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin, dan untuk rakyatnya.” (HR. Muslim [55]).

Hadits yang mulia ini mengandung banyak pelajaran, di antaranya :

  1. Seluruh ajaran agama tercakup dalam hadits ini. Sebab seluruh ajaran agama memiliki maksud yang sama yaitu nasihat. Secara bahasa nasihat bermakna murni dan tulus. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah menginginkan kebaikan bagi yang dinasihati (Jami’ul ‘Ulum, hal. 101). An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah hadits yang memiliki kedudukan yang sangat agung, di atas hadits inilah seluruh ajaran agama Islam berporos…”. “…Adapun apa yang dikatakan oleh banyak ulama yang menyatakan bahwa hadits ini merupakan seperempat ajaran agama Islam, maka hal itu tidak tepat seperti apa yang mereka ucapkan. Bahkan poros semua ajaran ada dalam hadits ini saja.” (Syarh Muslim, 2/116). Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mungkin untuk dimaknai sebagaimana lahiriyahnya karena setiap amal yang tidak dimaksudkan oleh pelakunya dengan ikhlas maka amal itu bukan termasuk bagian agama.” (Fath Al-Bari, 1/169). Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa nasihat meliputi unsur Islam, Iman, dan Ihsan yang disebutkan dalam hadits Jibril ‘alaihis salam dan ketiganya disebut sebagai agama.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 100)
  2. Nasihat untuk Allah adalah : ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, mempersaksikan keesaan-Nya dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat-Nya (Syarh Al-Arba’in li Ibni Utsaimin, hal. 116). Selain itu, menunaikan kewajiban dengan sempurna dengan diiringi rasa cinta dan kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada-Nya serta menjauhi hal-hal yang diharamkan dan yang dimakruhkan (lihat Jami’ul ‘Ulum, hal. 101). An-Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa salah satu bentuk nasihat untuk Allah adalah, “Meninggalkan ilhad/penyimpangan dalam memahami sifat-sifat-Nya dan menyifati-Nya dengan seluruh sifat kesempurnaan dan kemuliaan, dan membersihkan Allah subhanahu wa ta’ala dari semua kekurangan…” (Syarh Muslim, 2/116). Hakikat nasihat untuk Allah adalah : benarnya keyakinan tentang keesaan diri-Nya dan mengikhlaskan niat dalam beribadah kepada-Nya (Jami’ul ‘Ulum, hal. 101)
  3. Nasihat untuk Kitab-Nya adalah : membelanya dari penyelewengan, membenarkan beritanya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang disebutkan di dalamnya, meyakini bahwa ketetapan hukumnya adalah hukum yang terbaik, dan mengimani bahwa Al-Qur’an ini adalah kalamullah, bukan ucapan makhluk-Nya (lihat Syarh Al-Arba’in li Ibni Utsaimin, hal. 116-117). Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan termasuk bentuk nasihat untuk Kitab-Nya adalah dengan mempelajari dan mengajarkannya, dan membacanya dengan benar (Fath Al-Bari, 1/169). Hakikat nasihat untuk Kitab-Nya adalah : beriman dengannya dan mengamalkan ajarannya (Jami’ul ‘Ulum, hal. 101).
  4. Nasihat untuk Rasul-Nya adalah : mengimani kerasulan beliau, memurnikan ittiba/pengikutan kepadanya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya, membela ajarannya, meyakini keharusan mengamalkan haditsnya sebagaimana juga harus mengamalkan Al-Qur’an, menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidup ataupun sesudah matinya -yaitu dengan membela tuntunannya- (Syarh Al-Arba’in li Ibni Utsaimin, hal. 117). Ibnu Hajar rahimahullah juga menyebutkan termasuk bagian dari nasihat untuk Rasul-Nya adalah dengan mengagungkan beliau, menghidupkan sunnahnya dengan mempelajari dan mengajarkannya, meneladani ucapan dan perbuatannya, mencintainya dan mencintai para pengikutnya (Fath Al-Bari, 1/169). An-Nawawi rahimahullah menyebutkan juga termasuk dalam hal ini yaitu memusuhi orang yang memusuhi Rasul, menepis tuduhan jelek kepadanya, beradab ketika membaca haditsnya dan tidak berbicara tentangnya tanpa ilmu, memuliakan ahli hadits/ahlu sunnah, berakhlak dengan akhlaknya, mencintai keluarga dan para sahabatnya, menjauhi ahli bid’ah dan orang-orang yang melecehkan kehormatan para sahabatnya (lihat Syarh Muslim, 2/117).
  5. Nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin : mencintai kebaikan, hidayah, dan keadilan pada diri mereka, menyukai umat bersatu di bawah kepemimpinan mereka, tidak senang melihat umat berpecah belah, menaati mereka dalam rangka taat kepada Allah, membenci pemberontakan, dan suka memuliakan mereka dalam ketaatan kepada Allah (Jami’ul ‘Ulum, hal. 102-103). Pemimpin kaum muslimin ada 2 : ulama Rabbani dan pemerintah. Bersikap nasihat kepada ulama adalah dengan : mencintai mereka, membantu dakwah mereka, membela kehormatan mereka, meluruskan kesalahannya, menyarankan cara yang lebih baik dalam mendakwahi masyarakat. Sedangkan nasihat untuk pemerintah meliputi : meyakini keabsahan pemerintahan mereka, menyebarluaskan kebaikan mereka, melaksanakan perintah dan larangan mereka selama tidak bertentangan dengan syariat -meskipun mereka adalah pelaku dosa besar-, menutupi aib mereka sebisa mungkin, dan tidak memberontak kepada mereka atau menghasut rakyat untuk melakukannya (lihat Syarh Al-Arba’in li Ibni Utsaimin, hal. 120-122). Al-Khattabi rahimahullah menjelaskan termasuk nasihat bagi pemerintah adalah dengan : shalat bermakmum di belakang mereka, berjihad bersama mereka, menyalurkan sedekah/zakat melalui mereka, dan mendoakan kebaikan untuk mereka. Dan apabila mereka adalah ulama maka termasuk nasihat untuk mereka adalah dengan bersangka baik kepada mereka (lihat Syarh Muslim, 2/117). Termasuk dalam nasihat bagi ulama adalah dengan menyebarkan keutamaan-keutamaan mereka (Fath Al-Bari, 1/169).
  6. Nasihat untuk rakyat biasa : yaitu dengan membimbing mereka demi kemaslahatan mereka, memberikan pelajaran kepada mereka dalam urusan agama maupun dunia, menutupi aib-aib mereka, melengkapi kekurangan mereka, membela mereka dalam menghadapi serangan musuh, menjauhi tipu daya dan kedengkian kepada mereka, mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana mencintai kebaikan itu bagi dirinya dan membenci keburukan menimpa mereka sebagaimana dia tidak menyukai hal itu menimpa dirinya (Jami’ul ‘Ulum, hal. 103). Yang dimaksud dengan rakyat biasa adalah selain pemerintah dan ulama. Termasuk dalam nasihat untuk mereka adalah dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan lembut dan ikhlas, menyayangi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, menasihati mereka dengan baik, melindungi harga diri dan harta mereka, dan mendorong mereka untuk melakukan ketaatan (lihat Syarh Muslim, 2/117-118).
  7. Termasuk dalam nasihat untuk Allah, untuk kitab-Nya dan untuk rasul-Nya adalah : [1] membantah berbagai penyimpangan dan kesesatan dengan dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah dengan membuktikan kebatilan tersebut berdasarkan dalil-dalilnya, [2] membantah pendapat-pendapat yang lemah yang muncul akibat ketergelinciran para ulama, [3] menerangkan hadits yang sahih dan yang lemah dengan menjelaskan keadaan para periwayatnya. Dan ini semua merupakan bentuk nasihat yang hanya bisa dilakukan oleh ahlinya/ulama dan orang-orang yang berilmu. Termasuk dalam nasihat yaitu memberikan wejangan/saran ketika saudara kita meminta nasihat. Hal ini juga menunjukkan bahwa semakin besar nasihat yang dilakukan oleh seseorang maka semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah. Abu Bakar Al-Muzani rahimahullah berkata, “Tidaklah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu melampaui keutamaan para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan puasa ataupun shalat, akan tetapi dengan sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Ibnu ‘Aliyah mengatakan, “Yang bersemayam di dalam hatinya adalah kecintaan karena Allah ‘azza wa jalla dan nasihat kepada makhluk-Nya.” Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, “Tidaklah ada di antara kami ini orang yang bisa mencapai kedudukan yang mulia dengan banyaknya shalat atau puasa, orang yang dapat meraih kemuliaan di antara kami adalah dengan kedermawanan diri, kelapangan dada, dan nasihat kepada umat manusia.” Ibnul Mubarak pernah ditanya, “Amal apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Menasihati karena Allah.” Ma’mar mengatakan, “Dahulu dikatakan bahwa orang yang paling menasihati kamu adalah yang menumbuhkan rasa takut kepada Allah di dalam hatimu.” Para ulama salaf biasa menasihati orang lain dengan sembunyi-sembunyi. Sampai-sampai ada yang mengatakan, “Barangsiapa yang menasihati saudaranya antara dirinya dengan saudaranya itu maka itulah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di depan orang banyak maka sesungguhnya dia telah menjatuhkannya.” Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Ciri orang mukmin itu menutupi aib dan senang menasihati, sedangkan ciri orang fajir adalah suka membuka aib orang dan melecehkannya.” Ibnu Abbas pernah ditanya bagaimana cara menasihati penguasa. Beliau menjawab, “Kalau kamu melakukannya, maka kamu harus berbicara/menyampaikan langsung berdua dengannya.” (lihat Jami’ul ‘Ulum, hal. 104-105).
  8. Hadits ini menunjukkan bolehnya mengakhirkan penjelasan dari waktu pembicaraan, sebagaimana tampak dari pertanyaan para sahabat, “Untuk siapakah nasihat itu?”. (Fath Al-Bari, 1/169). Baru setelah sahabat bertanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan penjelasan lebih terperinci.
  9. Hadits ini juga menunjukkan betapa besar semangat para sahabat untuk menimba ilmu (lihat Syarh Al Arba’in li Ibnu Utsaimin, hal. 123).
  10. Hadits ini juga menunjukkan bagusnya tata cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberikan pelajaran kepada para sahabatnya. Beliau menyebutkan perkara secara global kemudian disertai penjelasan yang lebih rinci (lihat Syarh Al Arba’in li Ibnu Utsaimin, hal. 123).
  11. Hendaknya memulai dari yang terpenting kemudian perkara penting yang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini yang mendahulukan penyebutan nasihat untuk Allah sebelum nasihat untuk yang lainnya (lihat Syarh Al Arba’in li Ibnu Utsaimin, hal. 123). Wallahu a’lam.


Artikel asli: http://abumushlih.com/hadits-hadits-pokok-bagian-3.html/